10 September 2008

Surga vs Neraka

Suatu ketika saya dihadapkan pada sebuah pertanyaan yang dilontarkan oleh isi kepala saya sendiri. Pertanyaannya cukup bombastis; mana yang lebih menarik, neraka atau surga?

lalala... surga... neraka...
“Tentu, saya ingin ke surga.
Tapi, keinginan untuk pergi ke
surga itu jauh lebih kecil,
dibandingkan dengan keinginan untuk menghindari neraka.”

Tentunya, pikiran cepat yang terlintas adalah surga. Pikiran itu terlintas begitu cepat — seakan-akan jawaban bahwa ’surga itu lebih menarik daripada neraka,’ adalah sebuah aksiom sederhana. Bunyinya ya begitu;surga lebih menarik daripada neraka.

Apa benar?

Mungkin tidak.

Pada dasarnya, hal yang ‘menarik’ adalah hal yang lebih sering kita berikan perhatian. Pikiran kita sering didedikasikan supaya tertuju ke sana. Dan, konsekuensinya, telinga kita menjadi lebih sensitif apabila namanya disebutkan, serta intuisi kita menjadi lebih aktif menghubungkannya dengan peristiwa-peristiwa lain.

Surga dan neraka: Analogi duniawi

Apa konsep seperti ini bisa diterima? Bisa saja, misalnya dibawa ke konteks berorganisasi. Terdapat contoh sederhana; yaitu dalam bersekolah/berkuliah. Tapi mari kita ambil contoh rumit; bernegara. Pada keduanya, konsep ‘neraka’ juga berhasil unggul dibandingkan konsep ’surga’.

Analoginya, berapa orang dari kita yang tertarik mendapatkan medali-medali penghargaan sebagai warga negara budiman? Kalaupun niat itu ada, tentunya ketertarikan itu jauh lebih kecil dibandingkan dengan rasa takut menjadi buronan negara

Hal yang bisa disimpulkan sejauh ini, bahwa manusia cenderung lebih menghindari penderitaan, daripada meraih kebahagiaan. Mungkit sifatnya duniawi, tapi juga manusiawi — dan itu bakal terus dipakai sampai ke akhirat kelak.

Rahasia umum

Kebanyakan orang sudah menyadari kecenderungan ini. Gejala-gejalanya sudah tampak dari jauh-jauh hari. Para imam dan ustadz, atau pemuka agama secara keseluruhan, kebanyakan lebih tertarik mendakwahkan sekarung laknat — liang kubur yang terus merapat, mayat yang terlipat, serta jasad dengan belatung yang menggeliat. Dahsyat.

Umat pun terpana dibuatnya. Bayangan neraka pun (menurut saya) tervisualisasi melebihi kadar keperluannya. Imbasnya, penggambaran neraka (dan surga) pun menjadi lebih ‘duniawi’. Kesengsaraan neraka pun entah sejak kapan divisualisasikan sebagai siksaan a la dunia (dan kenikmatan surga pun menjadi kenikmatan a la dunia). Padahal, semuanya masih abstrak. Apa penyebabnya? Ketakutan. Paranoia.

Wajar, siapa yang mau dilaknat di neraka? Apalagi selama-lamanya. Bayangkan. Selama-lamanya. Penderitaan yang abadi.

Paradoks manusia

Sebenarnya kalau dipikirkan lebih jauh, mungkin tidak satupun dari kita yang pantas ditraktir selamanya menikmati surga. Tidak ada. Kuncinya adalah ’selamanya’ itu. Hadiah tanpa batas hanya pantas diberikan pada amalan tanpa batas. Amalan tanpa batas hanya mungkin diwujudkan dengan waktu tanpa batas. Kesimpulannya, hanya orang yang hidup selamanya dan terus berbuat baik yang pantas dihadiahkansurga . Tapi, apabila dia hidup selamanya dan terus berbuat baik, kapan dia mesti dihadiahkan surga? Satu-satunya opsi yang memungkinkan adalah terus berbuat baik sambil mengamalkan surga. Tapi paradoks ini terus berlanjut — berusaha berbuat baik sebagai bentuk dari usaha, seharusnya tidak ada di surga.

Dan sebaliknya, tidak satupun dari kita yang pantas dihukum selamanya di neraka. Hukuman tanpa batas hanya pantas dijatuhkan atas dosa tanpa batas. Dosa tanpa batas hanya mungkin dilakukan dengan waktu tanpa batas. Lalu, tentunya hanya orang yang hidup selamanya yang pantas dihukum selamanya. Dan tidak mungkin, orang melakukan dosa (yang kebanyakan nikmat tersebut) sambil disiksa di neraka.

Pada saat seperti inilah, pandangan apa yang diambil tergantung pada pandangan kita pada yang Maha Penguasa sendiri. Ada dua atribut yang berperan di sini; atribut-Nya sebagai Maha Pengasih (dan Maha Pemaaf) serta sebagai Maha Adil. Segala bentuk hukuman dari Allah adalah refleksi dari sifat Maha Adil tersebut. Allah tidak kejam. Hukuman adalah konsekuensi dari keadilan. Lalu?

Berarti, suatu ketika pahala yang diperbuat penghuni surga akan impas dibayar Allah melalui jamuannya di surga.
Dan, suatu ketika dosa yang diperbuat penghuni neraka akan terbayar melalui siksaan yang diterimanya.

Sifat Maha Adil-Nya pun terpenuhi.

Setelah itu? Terserah pandangan anda tentang-Nya. Kalau menurut saya, saat inilah sifat Maha Pengasih-Nya akan berperan ;) Semuanya tergantung anda mau melihat Tuhan anda sebagai diktator megalomaniak yang punya kekuasaan tiada batas, atau sebagai zat Maha Segala-galanya yang mengandung segala kebaikan, tanpa batas.

6 Komentar:

Anonymous Anonymous berkata...

"judunya keren uy.... semangat mbak....."

@ September 11, 2008 at 8:24 AM  
Blogger nur berkata...

"ratih sekarang kamu hebat ya kamu udah mendalami agama islam aku salut banget sama kamu. aku jadi iri sama kamu soalnya kamu udan mendalami agama islam sedangkan aku tih kalau punya ilmu itu harus di bagiin ojok dipek dewe kapan-kapan aku kasih tahu ya tih."

@ October 28, 2008 at 1:22 AM  
Anonymous Anonymous berkata...

"seru bante tuh"

@ October 31, 2008 at 12:47 AM  
Anonymous Anonymous berkata...

"halo ratih
gmn kbr?
kmuh skrg jd ap?"

@ November 2, 2008 at 3:36 AM  
Anonymous Anonymous berkata...

"bagus mbak
seru...."

@ November 3, 2008 at 4:01 AM  
Anonymous Anonymous berkata...

"nhe kak Ratihkah??
iya kak aku suka anime
hehehe
artikelna keren dech...
insyaallah kebersamaan Islamnya nda' akan lupa"

@ November 3, 2008 at 9:41 PM  

Post a Comment

<< Home